TUGAS
SOSIOLINGUISTIK
OLEH
HENRA KARLINA
A1D1 11 067
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
KATA PENGANTAR
Tak ada kata yang indah yang patut kami ucapkan selain ucapan puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tanpa halangan yang berarti.
Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada segala pihak, jika dalam penyusunan makalah ini terdapat kekeliruan atau ada kata yang tidak berkenan di hati pembaca. Kami menyadari sebagai manusia biasa tentu tidak luput dari kekeliruan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami sangat harapkan untuk kesempurnaan penyusunan selanjutnya.
Kendari, September 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………..
A. Latar Belakang………………………………………………..
B. Rumusan Masalah………………………………………………..
C. Tujuan dan Manfaat……………………………………………
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….
A. Pengertian Campur Kode………………………………………
B. Latar Belakang Campur Kode………………………………….
C. Beberapa Macam Wujud Campur Kode………………………….
BAB III PENUTUP………………………………………………………….
A. Kesimpulan………………………………………………………
B. Saran…………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa sebagai wahana komunikasi digunakan setiap saat. Bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1982: 19). Manusia menggunakan bahasa dalam komunikasi dengan sesamanya pada seluruh bagian kehidupan.
Sebagai alat komunikasi dengan sesamanya bahasa terdiri atas dua bagian yaitu bentuk atau arus ujaran dan makna atau isi. Bentuk bahasa adalah bagian dari bahasa yang diserap panca indera entah dengan mendengar atau membaca. Sedangkan makna adalah isi yang terkandung didalam bentuk-bentuk tadi, yang dapat menimbulkan reaksi tertentu (Keraf, 1982: 6).
Hubungan antara bahasa dengan sistem sosial dan sistem komunikasi sangat erat. Sebagai sistem sosial pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti usia, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi dan profesi. Sedangkan sebagai sistem komunikasi, pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor situasional yang meliputi siapa yang berbicara dengan siapa, tentang apa (topik) dalam situasi bagaimana, dengan tujuan apa (tulisan, lisan) dan ragam bagaimana (Nababan, 1986: 7).
Berdasarkan sarana tuturnya bahasa dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan. Pada bahasa lisan pembicara dan pendengar saling berhadapan secara langsung sehingga mimik, gerak, dan intonasi pembicara dapat memperjelas maksud yang akan disampaikan. Sedangkan untuk bahasa tulisan walaupun penulis dan pembaca tidak berhadapan langsung tulisan dapat dimengerti oleh pembaca berkat penggunaan tanda baca, penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
Lindgren sebagaimana dikutip Poejosoedarmo (1073: 30) mengatakan bahwa fungsi bahasa yang paling mendasar adalah alat pergaulan dan perhubungan manusia. Baik tidaknya jalinan komunikasi antara manusia ditentukan oleh baik tidaknya bahasa mereka.
Bahasa sebagai objek dalam sosiolinguistik tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana linguistik umum tetapi sebagai sarana komunikasi dalam masyarakat. Dalam masyarakat manusia bahasa merupajan faktor yang penting untuk menentukan lancar tidaknya suatu komunikasi. Oleh karena itu ketepatan berbahasa sangat diperlukan demi kelancaran komunikasi. Ketepatan berbahasa tidak hanya berupa ketepatan memilih kata dan merangkai kalimat tetapi juga ketepatan melihat situasi. Artinya seorang pemakai bahasa selalu harus tahu bagaimana menggunakan kalimat yang baik atau tepat, juga harus melihat dalam situasi apa dia berbicara, kapan, dimana, dengan siapa, untuk tujuan apa dan sebagainya. Membicarakan suatu bahasa tidak terlepas membicarakan kategori kebahasaan yaitu variasi bahasa. Bahasa merupakan suatu kebulatan yang terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur ini disebut variasi bahasa. Selanjutnya variasi bahasa memiliki beberapa keanggotaan yang disebut varian. Tiap-tiap varian bahasa inlah yang disebut dengan kode. Hal ini menunjukan adanya hierarki kebahasaan yang dimulai dari bahasa sebagai level yang paling atas disusul dengan kode yang terdiri dari varian-varian dan ragam-ragam. Istilah kode dalam hal ini dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian dalam hierarki bahasa. Weinrich (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 115) menyatakan bahwa bahasa dan kode mempunyai hubungan timbal balik, artinya bahasa adalah kode dan sebuah kode dapat saja berupa bahasa.
Situasi kebahasaan, perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, serta perkembangan teknologi yang semakin canggih, baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri mengakibatkan terjadinya campur kode dalam berbahsa. Menurut Suwito (1985:74) campur kode merupakan konvergensi kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Campur kode sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah :
a. Apa latar belakang terjadinya campur kode ?
b. Jelaskan beberapa macam wujud campur kode !
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui latar belakang terjadinya campur kode dan macam-macam wujud campur kode.
Manfaat
Penulisan makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai latar belakang terjadinya campur kode dan macam-macam wujud campur kode yang merupakan materi mata kuliah Sosiolinguistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Nababan (1989:32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang berlangsung cepat dalam masyarakat multilinguistik (Holmes, 2001:42).
Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal biasanya disebabkan karena keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
B. Latar Belakang Terjadinya Campur Kode
Latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap (attitudinal type ) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic type). Keduanya saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih. Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling bergantung dan bertumpang tindih seperti itu, dapat diidentifikasikan beberapa alasan atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode. Alasan-alasan itu antara lain:
• Identifikasi peranan.
• Identifikasi ragam.
• Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan.
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah register dan educational. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Sedangkan keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena campur kode juga mendai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya. Misalnya bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa Belanda di Indonesia menunjukkan bahawa penuturnya termasuk orang “ tempo doeloe, terpelajar dan bukan orang sembarangan “. Sedangkan bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa Inggris dapat member kesan bahwa si penutur “ orang masa kini” berpendidikan cukup dan mempunyai hubungan luas. Campur kode dengan unsur-unsur bahasa Arab member kesan bahwa dia seorang muslim, taat beribadah, dan pemuka agama Islam yang memadai. Campur kode tersebut bersifat ke luar.
Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam daerahnya atau unsur-unsur ragam gayanya ke dalam dialeknya. Penyisipan demikian juga dapat menunjukkan identifikasi peranan tertentu, identifikasi register tertentu atau keinginan dan tafsiran tertentu. Campur kode dengan unsur-unsur bahasa daerah menunjukkan bahwa si penutur cukup kuat rasa daerahnya atau ingin menunjukkan kekhasan daerahnya. Bercampur kode dengan unsur-unsur dialek Jakarata dapat memberi kesan bahwa penuturnyaa termasuk “orang metropolitan” bukan lagi orang udik, telah keluar dari lingkungannya yang sempit dan sebagainya. Demikianlah maka campur kode itu terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur) , bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya, penutur yang mempunyai latar belakang sosial, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identifikasi kepribadiannya di dalam masyarakat.
C. Beberapa Macam Wujud Campur Kode
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain:
• Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata
Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal atau gabungan morfem.
Contoh:
“Mangka sering kali sok kata-kata seolah-olah bahasa daerah itu kurang penting”.
(“Padahal sering kali ada kata-kata seolah-olah bahasa daerah itu kurang penting”)
“Padahal sering kali ada anggapan bahwa bahasa daerah itu kurang penting”
• Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang (Harimurti, 2001: 59).
Sedangkan Parera (1988: 32) mengartikan frasa sebagai konstruksi yang dapat dibentuk oleh dua kata atau lebih, baik dalam bentuk sebuah pola dasar kalimat maupun tidak.
Contoh :
“Nah karena saya sudah kadhung apik sama dia ya tak teken”.
(“Nah karena saya sudah terlanjur baik dengan dia, ya saya tanda tangan”).
“Nah karena saya sudah benar-benar baik dengan dia, maka saya tanda tangani”.
• Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster
Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92).
Contoh:
Banyak klap malam yang harus ditutup.
Hendaknya segera diadakan hutanisasi kembali.
• Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata
Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi.
Contoh:
Sudah waktunya kita menghindari backing-backing dan klik-klikan.
Saya sih boleh-boleh saja, asal tidak tanya-tanya lagi.
• Penyisipan unsur-unsur yang bewujud ungkapan atau idiom
Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya.
Contoh:
Pada waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon (perlahan-lahan asal dapat berjalan).
Yah apa boleh buat, better laat dan noit (lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali).
• Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
Harimurti (2001: 110) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat serta mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Contoh:
Mau apa lagi, ik heb toch iets gedaan (saya toh sudah berusaha).
Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberi teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari bahasa yang lain dalam satu klausa yang sama untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa sebagai akibat dari pemakaian dua bahasa atau lebih.
Campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara penutur, bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang tertentu cenderung memilih bercampur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk mewujudkan status sosial dan identifikasi pribadinya dalam masyarakat.
Latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya terdiri dua tipe yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang pada kebahasaan. Selanjutnya atas dasar dua tipe tersebut Suwito (1996:90) mengidentifikasikan alasan terjadinya campur kode antara lain ialah : (a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam, dan (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun ketiganya saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih.
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. Campur kode yang terjadi ditunjukan untuk mengidentifikasi peranan penutur, baik secara sosial, registral, maupun edukasional. Misalnya dalam pemakaian bahasa jawa pemilihan variasi bahasa dan cara mengekpresikan variasi bahsa itu dapat memberi kesan tertentu baik tentang status sosial ataupun tingkat pendidikan penuturnya.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan untuk bercampur kode yang akan menempatkan penutur dalam hierarki status sosial.
Identifikasi keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak dalam sikap terhadap penutur. Penutur yang bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa Inggris dapat memberi kesan bahawa si penutur “ orang masa kini”, berpendidikan cukup dan mempunyai hubungan yang luas
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain:
a. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata
b. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa
c. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster
d. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata
e. Penyisipan unsur-unsur yang bewujud ungkapan atau idiom
f. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
DAFTAR PUSTAKA
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Jakarta: Gramedia
Sumarsono dan Paina Pariana, 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar